Hipotesa Gerbang (Gateway Hypothesis) dalam Pencegahan Kecanduan Zat dan Non-zat

Hipotesa Gerbang (Gateway Hypothesis)

dalam Pencegahan Kecanduan Zat dan Non-zat

 

Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

gatewayimg_1

Disampaikan dalam Seminar Gepenta: Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba dan Kekerasan

Surabaya, 5 Oktober 2016

 

Untuk kesekiankalinya, A meminta maaf pada orangtuanya karena telah mencuri uang dan menggunakannya untuk membeli heroin. Walaupun baru berusia 17 tahun, siswa SMU ini sudah pernah 2 kali bolak-balik pusat rehabilitasi narkoba di RS Fatmawati tahun ini. A pertama kali menghisap rokok dengan teman-temannya di usia 10 tahun dengan mencuri rokok Ayahnya sendiri. Lalu pada SMP, A bereksperimen dengan efek yang muncul dari penggunaan kombinasi rokok dan alkohol. Lama-kelamaan, ia merasa kurang puas dengan efeknya, lalu mencoba ganja yang diberikan teman sebayanya. Sejak 2 tahun terakhir A sudah menggunakan berbagai zat, termasuk heroin, untuk mendapatkan kepuasan yang lebih besar yang selalu dicarinya.

Orang tua tidak habis pikir, sudah 2 kali masuk panti rehabilitasi namun tidak ada kesembuhan. Setiap kali pulang, hanya dalam 2 minggu, A sudah kembali menyalahgunakan zat. Sepertinya sulit merubahnya sekarang setelah kecanduan. Mereka berpikir dalam hati, apa yang mereka bisa lakukan sekarang? Dan jikalau mereka bisa, apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kecanduan ini terjadi?

Baca lebih lanjut

Mendampingi anak dengan trauma di Sekolah

Mendampingi anak dengan trauma di Sekolah

Oleh: Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

trauma schools1

Anak yang mengalami krisis atau tekanan besar dalam hidupnya dapat mengalami trauma. Anak dengan trauma dapat mengalami problem, seperti: sulit tidur, mimpi buruk, menjadi sangat bergantung pada orang lain, atau menjadi menjauh/menarik diri dari orang lain, sulit makan, berperilaku agresif, dan frustasi. Di sekolah, juga bisa muncul masalah perilaku seperti: sulit konsentrasi, dan kesulitan mengikuti instruksi di kelas dan bekerja/belajar dalam kelompok. Sayangnya, problem perilaku ini dapat membuat orang dewasa di sekitar anak salah paham bahwa anak mengalami kesulitan belajar, kesulitan konsentrasi atau gangguan kecemasan biasa. Akibatnya, Guru tidak bisa memahami masalah anak dan kurang dapat memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan anak.

Trauma dapat mempengaruhi proses belajar, perilaku anak dan juga interaksi anak dengan orang-orang di sekelilingnya. Oleh karena itu, Guru perlu memahami apa trauma dan bagaimana mendampingi anak dengan trauma di sekolah. Guru juga perlu membekali diri untuk mampu membantu anak didiknya yang mengalami trauma agar bisa belajar walaupun sedang berada dalam situasi krisis. Tulisan ini menguraikan mengenai apa trauma pada anak usia sekolah dan strategi yang dapat dilakukan Guru di sekolah untuk mendampingi anak dengan trauma. Baca lebih lanjut

Kecanduan dan Relasi Sosial

Margaretha, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Disampaikan dalam Seminar Pencegahan Narkoba GEPENTA di Surabaya, 29 Oktober 2015

hands-e1437687012312Apakah yang menyebabkan kecanduan? Dari kecanduan zat, seperti narkotika, obat-obatan dan berbagai aktivitas yang membuat kecanduan, seperti game online, judi, pornografi dan main smartphones. Berbagai penelitian menemukan bahwa kecanduan terjadi bukan sekedar akibat toleransi tubuh dan sebab-sebab biologis, tapi juga pengaruh lingkungan sosial. Manusia yang menjadi pecandu ditemukan sebagai orang-orang yang mengalami kekurangan atau ketidakmampuan untuk membangun relasi sosial yang bahagia dan sehat dengan orang-orang di lingkungannya. Jika masyarakat meneriakkan perang terhadap kecanduan, dan pecandu dianggap sebagai kriminal yang harus diasingkan serta mendapatkan hukuman agar jera, maka apakah sudah tepat penanganan masalah kecanduan yang kita lakukan selama ini? Tulisan ini akan menguraikan bagaimana pendekatan rehabilitasi sosial perlu dilakukan untuk menangani akar masalah kecanduan. Baca lebih lanjut

Ada Apa Di Balik Kriminalitas Remaja Indonesia?

Oleh : Hikmania Ayu Febrianti

Mahasiswa Peserta Mata Kuliah Psikologi Forensik di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

b0828d6c036efdc6fedd931264498a3d_tik5 

Latar Belakang

Fenomena geng remaja akhir-akhir ini menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Geng remaja yang ada, banyak melakukan aksi-aksi yang merugikan dan meresahkan masyarakat. Aksi yang mereka lakukan seperti aksi kebut-kebutan di jalan menggunakan motor, pemalakan, pencurian, dll. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah adanya aksi Geng Brasmada di Balikpapan yang menewaskan satu orang siswa SMA yang terjadi pada bulan Februari tahun 2013.

Seorang siswa SMA di Balikpapan dikabarkan tewas setelah dikeroyok oleh anggota geng motor yang disingkat Brasmada (Berani Senggol Mandi Darah). Korban yang bernama Alan Darma Saputra tersebut tewas setelah dikeroyok dan mendapatkan tiga buah luka tikaman sajam menembus tubuhnya di bagian punggung, dada serta pinggang. Korban yang awalnya hanya berniat untuk membeli Salome di sebuah warung tersebut dikeroyok oleh geng Brasmada karena tidak bisa memberikan uang sesuai yang diminta oleh geng tersebut (Rideng, 2013). Geng brasmada tersebut juga diketahui telah menyiapkan senjata tajam berupa sajam atau badik serta parang dalam melakukan aksinya (Ono, 2013). Tidak hanya melakukan kekerasan, para remaja anggota geng motor tersebut juga berani membunuh orang lain. Baca lebih lanjut