Narsisistik dan kekerasan dalam relasi intim (1)

Narsisistik dan kekerasan dalam relasi intim (1)

Oleh: Margaretha

Pengajar Matakuliah Psikopatologi di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

800px-Narcissus-Caravaggio_(1594-96)_edited

Trauma kekerasan masa kanak ditemukan pada sebagian besar pelaku kekerasan dalam relasi intim (KDRI) ataupun dalam konteks keluarga. Sebagian dari pelaku kekerasan dalam relasi intim juga ditemukan memiliki gangguan psikologis, baik depresi, penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian. Pelaku KDRI yang memiliki gangguan kepribadian biasanya akan membuat penderitaan yang cukup mendalam bagi korbannya.

Artikel pendek ini akan menguraikan perilaku pelaku dengan gangguan kepribadian narsisistik terutama dalam konteks KDRI serta apa yang dapat dilakukan untuk menghadapinya. Mengapa? Karena KDRI yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki gangguan kepribadian narsisistik akan sangat menyakitkan untuk korbannya, karena korban akan dihabisi harga dirinya dan hal inilah yang membuat mereka kesulitan untuk meninggalkan relasi yang buruk tersebut. Artikel pendek ini bertujuan menjadi panduan singkat bagi masyarakat yang pernah melihat atau mengalami KDRI oleh pelaku yang menunjukkan gangguan kepribadian narsisistik. Baca lebih lanjut

Tolong, anakku di depan komputeeerrr terus…”

Tolong, anakku di depan komputeeerrr terus…”

Oleh: Bayu Hendradjaya

Dosen Teknik Informatika ITB

is-screen-addiction-real-537x402Beberapa saat yang lalu penulis di tanyai seorang rekan yang kebingungan karena anaknya yang masih berumur 14 tahun tapi setiap jam kerjanya di depan komputer terus. Sebelum berangkat sekolah komputer sudah di nyalakan, pulang sekolah tanpa ganti baju dulu, komputer nyala lagi. Semula rekan ini berpikir kalau suatu saat si anak akan bosan sendiri. Tapi sesudah lebih satu tahun berjalan, dan tidak ada tanda-tanda kebosanan. “Berbahayakah…?” Dia kawatir jika kebiasaannya itu membawa akibat buruk walaupun dia juga tidak menutupi kalau dia juga merasa bangga, karena dia merasa tidak banyak anak seusia itu bisa komputer dan berharap kecanduan komputer dapat memberi manfaat di kemudian hari. Baca lebih lanjut

Gradasi Kekejian: Tingkat pembunuhan keji menurut Michael Stone (2009)

Gradasi Kekejian: Tingkat pembunuhan keji menurut Michael Stone (2009)

Oleh: Margaretha

Pengajar Psikologi Forensik

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Anatomy of Evil by Michael Stone

Sepanjang sejarah kita telah mendengar berbagai cerita yang begitu keji dilakukan manusia. Kain membunuh saudaranya sendiri Habil; Remus membunuh Romulus; hingga pada abad ini muncul beberapa kasus pembunuhan berantai. Manusia membunuh manusia-manusia lain dengan berbagai cara. Beberapa pelaku melakukannya karena menikmati proses penyiksaan yang dilakukan sebelum membunuh korbannya. Bahkan usaha-usaha menghilangkan korban pun terdengar sangat aneh dan menakutkan, dari cara pembakaran, mutilasi hingga kanibalisme. Mendengarnya pun kita merasakan teror dan ketakutan.

Mengapa seorang manusia bisa melakukan kekejian (evil)? Dalam memahami berbagai perilaku keji yang dilakukan oleh manusia ini, apakah ada tingkat kekejian yang membedakan satu tindakan keji dari yang lain? Tulisan ini akan menguraikan mengapa manusia melakukan kekejian, dan usaha memahami berbagai perilaku kekejian yang diuraikan oleh Michael Stone, seorang Psikiater Forensik yang telah menganalisis kasus kejahatan keji di Amerika Serikat.

Baca lebih lanjut

DSM V dan Kekerasan dalam relasi

DSM V dan Kekerasan dalam relasi

Oleh: Margaretha
Dosen Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

relationship problem

Berbagai penelitian mengenai kekerasan dalam relasi telah membuka mata berbagai profesional dalam kesehatan mental; bahwa persoalan dalam relasi personal berpengaruh kuat pada kesehatan mental manusia. Dalam Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM V; 2013) dinyatakan bahwa berbagai bentuk pengalaman traumatik akibat kekerasan dan penelantaran yang dapat dialami seseorang dalam suatu relasi interpersonal dapat mempengaruhi keadaan mentalnya. Pengalaman traumatik yang terjadi dalam relasi, baik dalam hubungan keluarga, pacaran, suami-istri, anak-orang tua diakui menjadi faktor pencetus, penyebab dan yang mempertahankan gangguan mental yang dialami seseorang. Hal ini berbeda dengan penjelasan di DSM IV TR (2000) yang lebih memfokuskan pada problem psikopatologis individu dalam relasi. Oleh karena itu, profesional dalam kesehatan mental perlu memahami persoalan-persoalan dalam relasi interpersonal, terutama yang terkait dengan kekerasan, trauma, dan penelantaran. Hal ini sangat dibutuhkan agar kita dapat secara utuh memahami persoalan mental yang dialami seseorang. Baca lebih lanjut